HAK
DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI
MAKALAH
Disampaikan
dalam Seminar Kelas Mata Kuliah Fikih 2 Semester 3 Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan
Oleh Kelompok 13
Nirwana Surur (Ketua)
Wahyudin
Mujriah
Dosen Pembimbing
Nur Rahmah Asnani S.pd.I., M.pd.I
FAKULTAS
TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UIN
ALAUDDIN MAKASSAR
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Apabila suatu akad nikah telah
dilakukan secara sah, maka akad nikah tersebut akan menimbulkan akibat hukum,
dengan demikian akan menimbulkan hak dan kewajiban selaku suami isteri. Suami isteri
yang menjalankan kewajibannya dan memperhatikan tanggung jawabnya akan mampu
mewujudkan ketentraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami
isteri tersebut. Suatu akad nikah yang sah akan membentuk suatu rumah tangga
atau suatu keluarga kecil. Keluarga kecil ini nantinya akan memperoleh
keturunan sehingga berkembang menjadi keluarga yang bertambah besar. Keluarga
yang dalam istilah fiqh disebut usratun atau qarabatun
itu harus dibina. Pembinaan keluarga ini menjadi tanggung jawab suami istri.
Dalam
kepengurusan rumah tangga masing-masing suami isteri mempunyai hak dan
kewajiban. Hak adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya
manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Sedangkan kewajiban berasal dari
bahasa arab yaitu wajib, yang berarti sesuatu yang apabila dilaksanakan
mendapat pahala dan berdosa jika ditinggalkan. Kewajiban disini selanjutnya
ialah sesuatu yang wajib dilakukan oleh seseorang dalam waktu, kondisi, dan
keadaan tertentu. Jadi dalam hal hak dan kewajiban suami isteri dapat dipahami
bahwa hak suami adalah kewajiban isteri, sedangkan hak isteri adalah kewajiban
suami, begitu juga sebalikya dalam hal kewajiban masing-masing suami isteri.
Sebagaimana dalam Q.S Al-Baqarah ayat 228 :
à4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjtÎ/ Îû y7Ï9ºs ÷bÎ) (#ÿrß#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`Íkön=tã ×py_uy 3 ª!$#ur îÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ
Artinya
:
Dan Para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang kami kemukakan diatas, dapat dirumuskan bahwa :
1.
Bagaimana hak dan kewajiban Suami?
2.
Bagaimana hak dan kewajiban Isteri?
3.
Bagaimana
hak dan kewajiban bersama suami isteri?
C. Tujuan
dan Manfaat Penulis
1.
Menjelaskan
hak dan kewajiban isteri.
2.
Menjelaskan
hak dan kewajiban suami.
3.
Mengetahui
hak dan kewajiban bersama suami isteri.
BAB II
PEMBAHASAN
Hak suami merupakan kewajiban
bagi isteri, sebaliknya kewajiban suami merupakan hak bagi isteri. Dalam kaitan ini ada tiga
hal :
ü Kewajiban
suami terhadap isterinya yang merupakan hak isteri dari suaminya.
ü Kewajiban
isteri terhadap suaminya yang merupakan hak suami dari isterinya
ü Hak
bersama suami isteri.
ü Kewajiban
bersama suami isteri.
A. Kewajiban
Suami terhadap Isteri
Kewajiban suami terhadap isterinya
dapat dibagi dalam dua bagian :
1. Kewajiban
yang bersifat materi
a. Nafkah
Nafkah
menurut bahasa adalah keluar dan pergi. Menurut istilah ahli fikih adalah
pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh orang yang wajib memberi nafkah kepada
seseorang, baik berbentuk roti, gula, pakaian, tempat tinggal dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan keperluan hidup seperti air, minyak, lampu, dan
sebagainya. Bila dihubungkan dengan perkawinan mengandung arti sesuatu yang
dikeluarkannya dari hartanya untuk kepentingan isterinya sehingga menyebabkan
hartanya menjadi berkurang.
Hukum nafkah ini adalah wajib
bagi suami terhadap isterinya, ayah terhadap anak-anaknya, atau tuan terhadap
budak-budaknya.[1] Sebagaimana dalam Q.S
Al-Baqarah: 233
* ßNºt$Î!ºuqø9$#ur z`÷èÅÊöã £`èdy»s9÷rr& Èû÷,s!öqym Èû÷ün=ÏB%x. ( ô`yJÏ9 y#ur& br& ¨LÉêã sptã$|ʧ9$# 4 n?tãur Ïqä9öqpRùQ$# ¼ã&s! £`ßgè%øÍ £`åkèEuqó¡Ï.ur Å$rã÷èpRùQ$$Î/ 4 ÇËÌÌÈ
Artinya
: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan
pakaian kepada para Ibu dengan cara ma'ruf ”.
Berlakunya
Kewajiban Nafkah
Kewajiban nafkah dimulai semenjak
akad nikah, bukan dari thamkin, baik
isteri yang telah melangsungkan akad nikah itu memberi kesempatan kepada
suaminya untuk digauli atau tidak. Dasar pemikiran golongan ini ialah ayat-ayat
al-qur’an maupun hadits Nabi yang mewajibkan suami membayar nafkah tidak
menetapkan waktu.[2]
Jumlah Nafkah yang Harus Diterima oleh Isteri
Dalam
hal ini terdapat tiga pendapat, yaitu:
Pertama: Pendapat Imam Ahmad yang
mengatakan bahwa yang dijadikan ukuran dalam menetapkan nafkah adalah status
sosial ekonomi suami dan isteri secara bersama-sama. Jika keduanya kebetulan
status sosial ekonominya berbeda diambil standar menengah diantara keduanya.
Yang jadi pertimbangan bagi pendapat ini adalah keluarga itu merupakan gabungan
diantara suami dan isteri, oleh karena itu keduanya dijadikan pertimbangan
dalam menentukan standar nafkah.
Kedua : Pendapat Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik yang mengatakan bahwa yang dijadikan standar adalah kebutuhan
isteri. Yang menjadi dasar ulama ini adalah sebuah hadits Nabi dari Aisyah muttafaq alaih yang artinya :
“Hindun
binti Utbah Isteri Abu Sofyan menghadap Nabi Saw dan berkata “Abu Sofyan adalah
laki-laki yang pelit dia tidak memberi nafkah yang mencukupi untukku dan anak
perempuanku, kecuali apa yang aku ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.
Apakah boleh yang demikian?”, Nabi Saw bersabda “ambillah dari hartanya apa
yang mencukupi untukmu dan anak perempuanmu”.
Ketiga : Imam al- Syafi’iy dan
pengikutnya berpendapat bahwa yang dijadikan standar dalam ukuran nafkah isteri
adalah status sosial dan kemampuan
ekonomi suami. Yang dijadikan landasan dikalangan ulama ini adalah firman Allah
dam Q.S At-Thalaq ayat 7 :
÷,ÏÿYãÏ9 rè 7pyèy `ÏiB ¾ÏmÏFyèy ( `tBur uÏè% Ïmøn=tã ¼çmè%øÍ ÷,ÏÿYãù=sù !$£JÏB çm9s?#uä ª!$# 4 w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) !$tB $yg8s?#uä 4 ã@yèôfuy ª!$# y÷èt/ 9ô£ãã #Zô£ç ÇÐÈ
Artinya : “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan
orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang
diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”.
Dengan demikian, jumlah nafkah
itu berbeda menurut tempat, zaman, dan keadaan suami isteri itu sendiri. Yang
terbaik
adalah musyawarah antara suami
isteri karena merekalah yang akan membina keluarga dengan baik.[3]
Gugurnya
Kewajiban Nafkah
a) Akad
nikah mereka ternyata batal.
b) Isteri nusyuz yaitu isteri tidak lagi
melaksanakan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang isteri.
c) Isteri
murtad.
d) Pada
waktu akad nikah isteri masih belum baligh dan ia belum serumah dengan suaminya.
b. Mahar
2. Kewajiban
yang tidak bersifat materi
a. Menggauli
isterinya secara baik dan patut. Sebagaimana dalam firman Allah Swt dalam surah
An-Nisa:19
4 £`èdrçŰ$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
Artinya:”Dan pergaulillah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.
Yang dimaksud pergaulan disini
secara khusus adalah pergaulan suami isteri termasuk hal-hal yang berkenaan
dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan yang dikatakan ayat tersebut
diistilahkan dengan makruf yang mengandung secara baik. Sedangkan bentuk yang
makruf itu tidak dijelaskan Allah secara khusus. Ayat ini juga menjelaskan
bahwa suami harus menjaga ucapan dan perbuatannya jangan sampai merusak atau
menyakiti perasaan isterinya.
b. Menjaganya
dari segala sesuatu yang mungkin melibatkannya pada suatu perbuatan dosa dan
maksiat atau ditimpa oleh sesuatu kesulitan dan bahaya. Sebagaimana dalam surah
At-tahrim ayat 6 :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqè% ö/ä3|¡àÿRr& ö/ä3Î=÷dr&ur #Y$tR
Artinya
:”Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”.
c.
Suami
mendatangi isterinya. Terdapat dalam surah Al-Baqarah:222
( #sÎ*sù
tbö£gsÜs?
Æèdqè?ù'sù
ô`ÏB
ß]øym
ãNä.ttBr&
ª!$# ÇËËËÈ
Artinya
: “apabila mereka telah suci, Maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu”.
Sehubungan
dengan ayat ini Ibn Hashim berpendapat bahwa suami wajib memberikan nafkah
bathin kepada isterinya sekurang-kurangnya satu kali sebulan jika ia mampu.
Kalau ia tidak melakukan hal ini berarti ia telah durhaka kepada Allah Swt.
Imam Ahmad berpendapat bahwa suami wajib memberikan nafkah bathin kepada
isterinya empat bulan sekali ketika suami meninggalkan isterinya batas waktunya
paling lama 6 bulan.
Memberikan
nafkah bathin kepada isteri termasuk ibadah atau sedekah yang mendapat pahala
dari Allah Swt. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw yang artinya :
“Bagi kamu mendatangi isterimu adalah suatu
pahala,lalu para sahabat bertanya: wahai Rasulullah, apakah seseorang diantara
kami yang menyalurkan syahwatnya akan mendapatkan pahala? Jawab
Rasulullah:bagaimana pendapatmu kalau dia seorang yang menyalurkan syahwatnya
pada tempat yang haram.apakah itu merupakan suatu dosa? Betul, jawab sahabat. Begitu
pulalah jika ia meletakkan syahwat itu pada tempat yang halal, maka ia akan
mendapatkan pahala”.(HR.Muslim)
Oleh
karena itu, memberikan nafkah bathin itu merupakan ibadah, maka islam mengatur
tata cara dan tata kramanya, antara lain : harus membaca ta’awudz dan basmalah,
di tempat yang sunyi dan tertutup, saling hormat menghormati, dan sebagainya.
d.
Suami
wajib mewujudkan kehidupan perkawinan yang diharapkan Allah untuk terwujud,
yaitu mawaddah, rahmah, dan sakinah.
Untuk maksud itu suami wajib memberikan rasa tenang bagi isterinya, memberikan
cinta dan kasih sayang kepada isterinya.
B. Kewajiban
Isteri terhadap Suami
1.
Isteri wajib taat kepada
suaminya.
Firman
Allah Swt dalam Q.S An-nisa ; 34
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4
Artinya : “Sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara
mereka”.
Yang dimaksud taat dalam ayat ini
ialah tunduk dan patuh kepada Allah Swt dan kepada suami. Perkataan taat
biasanya hanya digunakan kepada Allah, tetapi didalam ayat ini digunakan pula
untuk suami. Hal ini menggambarkan bagaimana seharusnya sikap isteri yang baik
kepada suaminya. Allah Swt menerangkan, isteri harus berlaku demikian karena
suami itu telah memelihara isterinya dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan
rumah tangganya.
Ayat diatas juga
menerangkan,isteri wajib memelihara diri di balik pembelakangan suami terutama
jika suami bepergian. Jangan sekali-sekali melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan kecurigaan suami, sehingga suami merasa tidak tenang pikiranya
dalam bepergian. Tentu saja melakukan perbuatan terlarang tidak saja akan
menghancurkan rumah tangga, tetapi juga akan mendapat siksa yang sangat berat
dari Allah Swt.
2. Istri
memimpin rumah tangga suaminya
Memimpin
tidak saja dengan pengaturan, tetapi juga memimpin sikap dan akhlak anggota
keluarga serta melatih diri anggota keluarga sehingga dapat berakhlak seperti
akhlak rasulullah Saw.
Sabda
Rasulullah Saw yang artinya “isteri itu
pemimpin rumah tangga suaminya dan ia diminta Allah atas pertanggungjawaban
atas pimpinannya itu”.[4]
3. Menggauli
suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya. Hal ini dapat dipahami dari ayat
yang menuntut suami menggauli isterinya dengan baik karena perintah untuk menggauli
itu berlaku untuk timbal balik.
4. Memberikan
rasa tenang dalam rumah tangga untuk suaminya, dan memberikan rasa cinta dan
kasih sayang kepada suaminya dalam batas-batas yang berada dalam kemampuannya.
5. Menjaga
dirinya dan menjaga harta suaminya bila suaminya tidak berada di rumah.
6. Menjauhkan
dirinya dari segala sesuatu perbuatan yang tidak disenangi oleh suaminya.
7. Menjauhkan
dirinya dari memperlihatkan muka yang tidak enak dipandang dan suara yang tidak
didengar.
C. Hak
bersama suami isteri
1. Kehalalan
bersenang-senang (bersetubuh)
Masing-masing
suami isteri berhak bersenang-senang dengan pasangannya karena memenuhi
dorongan fitrah dan mencari keturunan merupakan tujuan yang tinggi dari
hubungan ini. Allah berfirman :
tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_ºurør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk¨XÎ*sù çöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ
Artinya
: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap isteri-isteri mereka dan budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. (Q.S Al-Mu’minun: 5-6)
2. Timbulnya
hubungan suami dengan keluarga isterinya dan sebaliknya hubungan isteri dengan
keluarga suaminya, yang disebut hubungan mushaharah.
3. Hubungan
saling mewarisi diantara suami isteri. Setiap pihak berhak mewarisi pihak lain
bila terjadi kematian.
D. Kewajiban
bersama suami isteri
1. Memelihara
dan mendidik anak keturunan yang lahir dari perkawinan tersebut. Baik mengenai
pertumbuhan jasmani, rohani, maupun kecerdasan.
2. Memelihara
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
a. Kewajiban
suami terhadap isteri dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu kewajiban yang bersifat
materi dan kewajiban yang tidak bersifat materi. Kewajiban suami terhadap
isteri adalah memberikan nafkah dan mahar kepada isteri. Adapun kewajiban yang
bersifat non materi adalah menggauli isteri dengan baik dan patuh, menjaganya
dari sesuatu perbuatan dosa dan maksiat, memberikan nafkah batin, dan suami
mewujdkan suatu perkawinan yang, sakinah,
mawaddah, dan warrahmah.
b. Kewajiban
isteri terhadap suami adalah isteri wajib taat kepada suaminya, isteri memimpin
rumah tangga suaminya, menggauli suaminya secara layak sesuai dengan kodratnya,
memberikan rasa tenang dan rasa kasih sayang untuk suaminya, serta menjaga dirinya
dan harta suaminya.
c. Hak
dan kewajiban bersama suami isteri adalah bersetubuh, timbulnya hubungan
kekerabatan antara keluarga isteri dan keluarga suami, pihak suami isteri
saling mewarisi, mendidik anak, dan memelihara kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahhmah.
DAFTAR
PUSTAKA
Azzam, Muhammad dan
Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh
Munakahat. Jakarta: Amzah.
Nur, Djaman. 1993. Fiqih
Munakahat. Cet. I; Semarang: Dina Utama Semarang( DIMAS).
Samin, Sabri dan
Narmaya Aroeng. 2010. Fikih II. Makassar: Alauddin Press
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Cet.
3; Jakarta; Kencana.
[1] Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh Ala Mazahibi Arba’ah, jus IV,
Mesir, 1969, hlm. 553
[2]
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia, ( cet III., Jakarta: 2011), hal. 168
[3] Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, (cet I., Semarang:
1993), hal. 107
[4]
Departemen Agama RI, Ilmu Fikih, jilid II, Jakarta 1984/1985,
hlm. 164
Tidak ada komentar:
Posting Komentar